Mari kita renungkan.
Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai
kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.
Seorang pengusaha kaya raya baru saja membeli sebidang tanah seluas
ratusan hektare di tepi sebuah pantai. Ia pun pergi untuk meninjau
lokasi tersebut.. Ia berdiri sambil menatap keindahan laut dan
membayangkan suatu ketika kawasan itu menjadi pusat perekonomian. Ia
tersenyum tanda bahwa ia amat bangga atas apa yang akan segera
dikerjakannya.
Setelah puas mengamati, ia kemudian berjalan menuju ke arah mobilnya.
Tiba-tiba langkahnya itu dihentikan oleh suara seorang pria. “Selamat
pagi kawan, ” ujar si pria yang sedang duduk bersantai sambil menikmati
panasnya sinar mentari. Si pengusaha menoleh. “Selamat pagi. Hei! kenapa
kamu di situ saja? Apakah kamu tak punya kerjaan?” kata si pengusaha.
“Aku seorang nelayan, “jawab orang itu.
Perbincangan pun berlanjut. “Kalau begitu pergilah ke laut dan
tangkaplah banyak ikan, ” himbau si pengusaha. “Oh, aku sudah ke laut
tadi pagi. Sekarang aku sedang menikmati hidupku sambil melepas lelah, ”
jawab nelayan. “Sekarang kembali lagi ke laut, ” himbau si pengusaha,
kali ini dengan nada agak tegas. “Tapi untuk apa?” tanya nelayan.
“Tangkap lagi ikan sebanyak-banyaknya, ” jawab si pengusaha.
Sejenak nelayan diam, kemudian menyahut, “Trus?”. “Ya, kemudian kamu
jual ikan itu supaya uangmu bertambah banyak sehingga kamu menjadi kaya,
” kata pengusaha. “Kemudian apa yang harus kulakukan? ” tanya nelayan
lagi. ” Kamu tinggal menikmati hidupmu, ” kata pengusaha. Dengan wajah
polos dan sambil tersenyum, si nelayan berkata, “Lo, emangnya apa yang
sedang kulakukan sekarang? ” Si pengusaha terdiam dan berlalu sementara
nelayan terus menikmati sinar matahari dan angin pantai yang berhembus
sepoi-sepoi. Ia betul-betul menikmati hidupnya.
Cerita di atas tampaknya sedang menyindir kehidupan banyak orang yang
diisi dengan kegiatan mengejar kekayaan semata. Dulu saya pernah
berpikir bahwa memiliki banyak uang adalah tanda kesuksesan. Namun
seiring perjalanan waktu saya manyadari bahwa hal tersebut adalah
keliru. Bukankah dengan jelas kita bisa melihat begitu banyak orang kaya
yang mati bunuh diri? Atau orang kaya yang hidupnya hanya diisi oleh
stres, kekhawatiran dan ketakutan akan kematian?
Tampaknya nasihat dari Ibu Teresa patut kita renungkan. “Ketika
seseorang berurusan dengan uang, orang itu akan kehilangan hubungan
dengan Allah… Suatu hari muncullah keinginan untuk memiliki banyak uang
dan segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Kebutuhan-kebutuhan
semakin meningkat karena satu hal berkaitan dengan hal lainnya.
Akibatnya adalah ketidakpuasan yang tidak terkendali, ” katanya.
Saya bukannya orang yang anti uang. Menurut saya, uang hanya sebuah
sarana dalam menopang kehidupan dan dapat menjadikan kehidupan kita
lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga maupun sesama.
Terkadang ada orang yang sinis dengan uang dan berkata bahwa uang tidak
bisa membeli kebahagiaan. Menurut saya itu benar tapi apakah kemiskinan
bisa membeli kebahagiaan? Anda mungkin pernah melihat bagaimana seorang
suami tega menjual istrinya atau ayah menyuruh anak melacurkan diri
akibat kemiskinan.
Orang-orang yang alergi terhadap uang barangkali belum pernah hidup
miskin sehingga berani mengatakan uang tidak penting. Saya masih ingat
pengalaman diusir dari tempat kost karena tidak mampu membayar tepat
waktu dan dihina oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat dengan
kami saat bisnis orang tua saya mengalami kebangkrutan. Benar kata orang
bijak bahwa dalam masa senang teman-teman mengenal kita namun dalam
masa sulit kita mengenal siapa teman-teman kita. Ketika hidup kita
senang, banyak yang datang menghampiri. . Persis seperti pepatah “ada
gula ada semut” namun begitu hidup kita susah, satu per satu akan
menjauh. Begitulah manusia!
Saya sepenuhnya percaya Tuhan menginginkan kita hidup dalam segala
kelimpahan, termasuk dalam segi finansial namun kekayaan kita hendaknya
digunakan demi kemuliaan nama Tuhan. Caranya adalah dengan menjadikan
kekayaan tersebut berkat bagi sesama. Semakin kaya kita, semakin besar
pula kesempatan yang kita miliki untuk membantu mereka yang sangat
membutuhkan.
Jika berbicara tentang hal ini, saya sering teringat akan kisah seorang
pemuda yang memiliki cita-cita untuk menjadi misionaris di Afrika.
Sayangnya, setelah menikah ia baru mengetahui kalau keadaan kesehatan
istrinya tidak memungkinan mereka berdua untuk pergi ke Afrika. Pemuda
ini menjadi begitu tertekan. Ia depresi!
Ia terus bergumul. Ia marah bercampur bingung. Bagaimana mungkin Tuhan
memanggilnya untuk tugas mulia tersebut namun menutup pintu baginya
untuk berkarya? Sampai suatu ketika Tuhan menyadarkan dia bahwa ia masih
tetap bisa menjalankan komitmennya itu di manapun ia berkarya.
Pemuda ini kemudian membantu ayahnya memproduksi anggur untuk keperluan
perjamuan kudus di gereja. Ketika ayahnya semakin tua, pemuda ini
mengambil alih usaha tersebut dan bertekad memanfaatkannya demi
kemuliaan nama-Nya. Siapa menduga usaha terus berkembang dan ia kemudian
dikenal sebagai orang yang menyumbangkan dana dalam jumlah besar bagi
kepentingan misi di dunia. Ia menggunakan kekayaaannya demi perluasan
kerajaan Allah di dunia. Nama pemuda ini adalah Mr. Welch.
Jika saat ini hidup Anda diberkati, bersyukurlah kepada Tuhan.
Nikmatilah apa yang Anda miliki dan jangan lupa untuk memberkati
kehidupan orang lain sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan.
Dia akhir perjumpaan ini, saya ingin mengajak kita semua merenungkan
sebuah nasihat kecil dari Ibu Teresa mengenai uang dan kekayaan: “Siapa
saja yang hidupnya tergantung pada uang atau selalu cemas atasnya, dia
sesungguhnya orang miskin. Bila orang itu menggunakan uang untuk
melayani orang lain, orang itu menjadi kaya, benar-benar sangat kaya.”
***
Artikel ini dikutip dari Buku Melangkah Maju di Masa Sulit (Stand Strong) karya Paulus Winarto, Penerbit Andi 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar