Kamis, 23 Februari 2012

Tuntaskan Sakit Kepala dengan Asap Lilin

Siapa bilang lilin hanya bermanfaat sebagai penerang, lilin ternyata juga dapat bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan pendengaran.

Seorang Bapak datang bersama anak lelakinya, yang kira-kira berumur 20-an. Kedunya tampak berdiskusi, melihat-lihat poster yang ditempel di dinding, dan membaca brosur-brosur. Sepertinya sang ayah berusaha menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Petikan cerita itu terekam saat HT mengunjungi salah satu Ear Candle Center di Jakarta Barat. Apa itu ear candle? Sebuah terapi panas termoterapi yang memiliki masalah dengan kepala khususnya pendengaran.

Ear candle therapy (ECT), terutama bertujuan untuk membersihkan telinga dan berusaha menciptakan pendengaran yang sehat, melegakan sinus dan tenggorokan. Terapi ini dapat mengatasi sinusitis, radang selaput lender, migren, beberapa macam gangguan pendengaran, kehilangan keseimbangan, tinnusitis (telinga berdengung), vertigo dan sindrom Meniere.

Berdasarkan literatur, ETC ditemukan oleh suku Indian di Amerika. Mereka memiliki ritual membersihkan telinga, dengan menggunakan alat berongga, yang digunakan relatif sederhana, kini alat tersebut kian disempurnakan.

Menurut Dra. Susana Budiman terapis ear candle kebanyakan klien yang datang ke kliniknya mengeluhkan tentang pendengaran yang buruk, seperti pemuda di atas yang mengalami gangguan pendengaran, yang telah dialami sejak kelas 1 SMA. "Tapi selain itu banyak juga yang mengeluh vertigo, telinga berdengung, atau migren. Kadang malah tidak sengaja, datang ke sini mau membersihkan telinga, vertigonya malah ikutan sembuh," katanya. Hingga saat ini sudah tercatat 2.000 lebih klien datang ke klinik yang belum genap dua tahun berdiri ini.

Apa saja yang dibutuhkan?

Menurut Susana alat-alat yang dibutuhkan untuk ECT antara lain; earwax (sebuah corong berdiameter kurang lebih 1,5 cm, yang terbuat daru sarang lebah, kain linen kualitas tinggi, chamomile, dan sage). Alat lain adalah tatakan lilin yang dilubangi, untuk mencegah serpihan corong yang dibakar masuk ke telinga. Dua alat ini merupakan piranti utama ECT. Alat lain yang dibutuhkan adalah alat untuk meneropong kondisi telinga, yang bermanfaat untuk melihat apakah di dalam telinga ada infeksi/radang, bisul atau jamur.

Bagaimana terapi bekerja?

Ada dua peristiwa fisika yang terlibat pada ECT:

Pembakaran secara perlahan-lahan menurunkan tekanan udara di dalam earcandle dan getaran yang menyalurkan udara hangat memberi sensasi hingga ke dalam telinga. Sensasi hangat ini masuk hingga ke dalam lubang telinga.
Di dalam telinga, kehangatan menstimulasi pembuluh darah, membangkitkan sistem imun dan memperkuat jaringan limfa. Dan pada saat bersamaan, titik-titik akupuntur secara refleks terstimulasi.
Akibat perbedaan tekanan ini, kotoran telinga akan terangkat ke atas, membentuk alur yang memanjang. Berbagai macam unsur bisa turut terangkat bersama kotoran, misalnya saja jamur (berwarna keputihan).

Dalam prakteknya, berbagai masalah kesehatan yang bermuara pada bagian kepala khususnya organ pendengaran, bisa diatasi dengan ECT. Selain yang tersebut di atas, juga sakit kepala, otitis eternal, dan sinusitis. Bahkan pada banyak kasus, vertigo dapat dieliminasi berkat ECT.

Anak-anak hingga orangtuaMereka yang mendatangai klinik Ear Candle Center sangat bervariasi usianya, mulai dari kanak-kanak, remaja hingga orang lanjut usia. Orangtua yang membawa anak mereka, paling banyak mengeluhkan tentang masalah pendengaran anak. Biasanya hal ini diketahui manakala si anak bermasalah dalam pelajaran di sekolah. Demikian juga pada orangtua yang datang karena mengeluh kurang pendengaran. "Keliru bila ada yang berpendapat bahwa berkurangnya pendengaran wajar terjadi pada mereka yang telah lanjut usia. Banyak mereka yang datang ke sini berusia di atas 70 tahun dan merasakan perbedaan sebelum dan sesudah terapi," kata Susana yang sehari bisa kedatangan 7-9 orang.

Karena begitu bervariasinya usia yang datang, Susana menyediakan earwax diameter kecil untuk anak, dan yang berdiameter lebih besar untuk dewasa. Sementara panjang earwax sama yakni sekitar 20 cm.

Menina bobokkan

Anak-anak yang lebih ekcil biasanya kurang kooperatif, namun percayalah bahwa setelah terapi berjalan, mereka seperti dinina-bobokkan, lalu tertidur dengan nyenyaknya. Menurut Susana ini terjadi karena sensasi hangat yang diberikan panas lilin, juga efek aromaterapi dari chamomile dan sage. Tentu saja bukan hanya anak kecil yang bisa tertidur, orang dewasa pun kerap terlelap saat terapi.

Lama terapi

Berapa banyak earwax yang digunakan tergantung kasus, jika hanya untuk membersihkan dibutuhkan dua earwax untuk masing-masing telinga atau kata lain satu organ butuh empat earwax. Namun untuk kasus agar berat, misalnya saja, kotoran membatu atau vertigo bisa dibutuhkan enam earwax.

Satu earwax membutuhkan waktu 15 menit pembakaran. Jadi jika Anda ingin membersihkan telinga, berarti Anda butuh waktu 60 menit (satu jam). Biaya yang ANda butuhkan untuk terapi ini adalah dihitung per-earwax. Satu earwax 60 ribu Rupiah, total biaya yang Anda keluhkan untuk satu kali terapi sama dengan 60 ribu Rupiah dikalikan empat, jadi sama dengan 240 ribu rupiah.

Susana biasanya menyarankan terapi ini dilakukan dua hingga tiga kali, atau tergantung kasusnya berat atau ringan.

Penyebab Sakit Kepala di Telinga?
Anda sering mengeluh sakit kepala, migrain atau vertigo? Jangan buru-buru menganggap ada yang salah pada kepala Anda. Coba cek dahulu telinga Anda siapa tahu sumber masa malah ada di sana.

Kebanyakan orang yang mengeluhkan sakit kepala langsung saja minum obat sakit kepala. Mereka menganggap, dengan cara itu masalah akan selesai. Memang, keluhan akan hilang. Tapi sakit kepala mungkin bakal sering berulang kalau penyebab utamanya belum ditangani.

Bisa jadi, penyebab sakit kepala itu justru ada di telinga. Lo? Ya, bukankah pusat keseimbangan tubuh ada di telinga? Ketika keseimbangan itu terganggu, entah oleh jamur, radang, atau bisul di dalam telinga, kerja bagian tubuh yang lain juga akan terganggu. Salah satu dampaknya adalah sakit kepala.

Lalu, bagaimana mengatasinya?
Tak ada salahnya kalau mencoba ear candle therapy (ECT). Terapi ini menawarkan solusi untuk mengobati dan mengembalikan keseimbangan tubuh.

ECT bukanlah "barang" baru. Sekitar 4.000 tahun lalu suku Indian, penduduk asli daratan Amerika, memanfaatkan ear candle untuk upacara spiritual. Ear candle yang digunakan saat itu terbuat dari kulit jagung yang dilapisi sarang lebah. Sekarang, digunakan kain linen sebagai pengganti kulit jagung. Kualitasnya harus tinggi agar abu bakaran tidak beterbangan. Karena menggunakan sarang lebah, warna ear candle bisa berubah sesuai musim, tergantung pada jenis bunga yang madunya diisap oleh sang lebah.

Mengangkat kotoran
ECT pada dasarnya sarana untuk mebersihkan telinga. Namun, efeknya ternyata bisa mengobati penyakit seperti gangguan pendengaran, kehilangan keseimbangan, tinitus (telinga berdengung). Karenanya, ECT bisa juga digunakan untuk menyembuhkan atau mengurangi keluhan beberapa penyakit. Umumnya memang yang berkaitan dengan pendengaran. Namun, tidak menutup kemungkinan ECT dapat menyembuhkan penyakit yang secara tidak langsung berkaitan dengan pendengaran, misalnya migrain, vertigo, sinusitis, bahkan insomnia.

Sesuai namanya, untuk mempraktikkan ECT dibutuhkan lilin. Tentu saja bukan lilin sembarangan. Ada lilin khusus untuk itu yang disebut ear candle. Bentuknya mirip lilin biasa, hanya saja bagian tengahnya berlubang, seperti sedotan minuman. Diameternya 1,5 cm dan panjangnya kira-kira 20 cm. Ear candle ini terbuat dari sarang lebah, kain linen kualitas tinggi, chamomile, dan sage yang bisa membunuh kuman di dalam telinga. Selain lilin, juga diperlukan tatakan untuk mencegah serpihan lilin masuk ke telinga dan otoscope, alat peneropong kondisi telinga.

Menurut Dra. Susana Budiman, terapis ECT dari Ear Candle Center, sebenarnya ada berbagai jenis dan bentuk lilin yang diproduksi oleh berbagai negara. Di antaranya lilin dari Kanada. Lilin jenis ini menggunakan kapas di tengah-tengah lubang sebagai filter. Namun, kapas ini justru mengundang masalah. Ada kasus yang membuat seorang pasien di negeri itu harus menjalani operasi gendang telinga setelah menjalani ECT. Ternyata, kapas justru membuat asap lilin makin panas dan serpihan kapas panas itu jatuh ke atas gendang telinga pasien. Karena itu, Susana tidak berani menggunakannya. Lain lagi lilin produksi dalam negeri yang kualitasnya kurang baik. "Kalau dibakar bukannya membersihkan telinga malah bikin sampah dalam telinga," kata Susana.

Masih ada lagi jenis lilin lain yang ternyata tidak mampu mengangkat kotoran dalam telinga karena lubang lilin yang terlalu kecil sehingga daya angkatnya kurang. "Lilin yang saya pakai ini aman," ujar Susana sedikit berpromosi. Sekadar informasi, lilin yang digunakan Susana diimpor dari Amerika Serikat.

Dalam ECT, ear candle bekerja layaknya vacuum cleaner yang menyedot kotoran. Lilin yang dibakar akan menghasilkan panas. Tekanan udara di atas menjadi lebih rendah sehingga asap putih hasil bakaran lilin masuk ke dalam tehinga. Setelah 3/4 lilin terbakar, asap di dalam telinga pun menjadi jenuh. Dengan adanya aliran udara dan tekanan lebih tinggi, asap putih itu akhirnya keluar dari dalam telinga sambil membawa partikel-partikel yang ada di dalam telinga, termasuk wax yang ada di dalam rumah siput.

Untuk satu kali terapi, biasanya dibutuhkan minimal dua batang lilin per-telinga. Meskipun maksimal digunakan adalah empat batang per-telinga, Susana mengaku tak pernah memakai lebih dari tiga batang. "Malah bisa jadi iritasi kalau digunakan berlebihan," jelasnya. Satu batang ear candle memang tidak murah. Satu lilin harganya mencapai Rp 67.500,-. Biasanya Susana masih tetap mengkombinasikan antara terapi dengan obat-obatan lain yang mendukung proses penyembuhan. Baik itu obat tetes telinga maupun obat minum, yang harganya bervariasi.

Terapi ini minimal dilakukan oleh dua orang. Paling tidak diperlukan seseorang untuk membantu memegang lilin. "Lilin ini harus dipotong setiap lima menit, jadi harus ada orang yang menggunting," jelas Susana.

Kalau karena suatu hal Anda tidak bisa mendatangi terapis, Anda bisa melakukan ECT di rumah. Syaratnya, Anda mesti sudah mengerti prosedurnya.

Agar terapi membuahkan hasil, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Antara lain tidak berenang selama terapi, atau selalu mengenakan ear plug untuk menjaga agar telinga tidak kemasukan air dan udara. Ear plug ini wajib dipakai saat berenang, mandi, dan berkendara dengan sepeda motor. Pasien juga dianjurkan untuk tidak makan makanan berprotein tinggi yang dapat memicu radang/infeksi seperti seafood (udang, kepiting, ikan asin), telor, dan susu.

Pantangan di atas memang sebaiknya tidak dilanggar.

"Telinga bisa jadi budheg lagi," tegasnya. Kasus itu sudah pernah terjadi pada salah seorang pasiennya yang lupa memakai ear plug saat membonceng motor meski jaraknya dekat.

ECT memang bukan tanpa risiko. Tapi, risiko itu sangat kecil. Salah satunya, bila diterapi terlalu sering atau terlalu banyak lilin akan membuat radang semakin parah. Pelanggaran terhadap pantangan juga akan menimbulkan risiko.

Datang "lumpuh", pulang jalan

Seberapa ampuhkah ECT menyembuhkan penyakit? Untuk menjawabnya, mari kita tengok pengalaman seorang pasien seperti yang dituturkan Susana. Pasien ini seorang wanita berusia 44 tahun. Ia menderita vertigo parah. Ia sudah menjalani opname di enam rumah sakit di Jakarta. Ketika datang ke tempat praktik Susana, ia harus dituntun oleh dua orang. Satu di kiri dan satu lagi di kanan. Jika hanya satu orang yang memegangnya, ia tetap akan jatuh ke sisi lainnya.

Di tempat praktik Susana, ia menerima terapi standar.

"Tidak ada perbedaan cara terapi untuk penyakit apapun. Semua sama," jelas Susana. Untuk pasien ini, Susana menggunakan dua lilin per telinga, masing-masing lilin akan habis dalam waktu 15 menit. Setelah selesai terapi, Susana selalu memberikan satu gelas air mineral pada pasien agar tenggorokan tidak kering akibat adanya panas dalam rongga telinga.

Tingkat keberhasilan terapi pasien tergantung dari banyak hal, seperti jumlah lilin yang digunakan, jenis penyakit, dan tingkat kepatuhan pasien menjauhi pantangan. Untuk pasien yang menderita vertigo di atas, baru selesai terapi yang pertama langsung bisa jalan sendiri tanpa dituntun.

Susana menjelaskan, vertigo terjadi karena adanya gangguan keseimbangan tubuh akibat tumpukan jamur maupun radang telinga. Penyakit ini bisa disembuhkan karena jamur di telinga berhasil dihilangkan dan radang disembuhkan.

Pengalaman Susana lain lagi. Lebih dari 20 tahun lalu, ia mengalami kecelakaan mobil. Ia selamat, namun ia sering mengalami nyeri dan kram di tangan dan kakinya, kepalanya juga kaku. "Kepala saya, sampai tidak bisa diputar," akunya.

Berbagai pengobatan medis maupun alternatif dialaminya. Namun tak berhasil. Atas anjuran teman yang juga seorang dokter, ia mencoba ECT. Karena jumlah lilin yang dimihiki temannya terbatas, ia meminta anaknya yang bersekolah di Amerika Serikat untuk mencarikan ear candle. Berbagai jenis lilin dibeli dan diseleksi. Akhirnya ia menemukan satu jenis lilin yang berkualitas bagus dan ia gunakan hingga sekarang. Di rumah, ia meneruskan ECT selama 1,5 bulan.

Awalnya ia ditentang oleh keluarganya, yang tentu saja memikirkan risiko terapi itu. Dengan ECT dan didukung dengan produk lain, Susana akhirnya bisa hiking ke Lembang sampai puncak tanpa mengeluh sakit. Terapi ini berhasil menyembuhkannya dari penderitaan selama puluhan tahun.

Gangguan kesehatan yang sempat dialami Susana dan pasiennya tentu tidak diinginkan banyak orang. Namun, perhatian terhadap kebersihan telinga juga tidak boleh dilupakan. Jangan biarkan jamur, yang berasal dari udara dan air di lingkungan kita, menumpuk begitu saja di dalam lorong telinga kita.

Tidak ada komentar: