Rekan saya bertanya tentang kenapa ini dinamakan “Ekonomi Orang
Waras dan Investasi”. Jawabnya sederhana saja. Pada dasarnya disini, persoalan dilihat dengan objektif. Asumsi dasar harus diuji.
Penyusunan kesimpulan harus runut, tidak ada lompatan logika (logical leap) dan
berdasarkan reaIita. Contoh saya suka untuk kesimpulan yang tidak runut adalah
dalih untuk memilih sistem demokrasi.
Dalil dasar: “Power tends to corrupt”
Maka: “distribute the power to people”
Di mata orang waras kalau ada dalil: “Power tends to corrupt” maka konsekwensi logisnya: “more people with power, leads to more corruption”. Bukan demokrasi atau rule by mob sebagai jawaban untuk menghindari korupsi.
Cara berpikir yang runut penting sekali dalam memecahkan semua persoal hidup, dari mulai bernegara, beragama sampai ke ekonomi. Disamping runut, kesimpulan juga harus berdasar realita. Saya ingat ketika saya masih duduk di SD (sekolah dasar). Ibu guru mengajarkan ilmu alam menerangkan topik perubahan fase.
Katanya: “Di alam ini ada 3 fase. Fase padat, cair dan gas. Bila zat padat, seperti es dipanaskan, ia akan meleleh pada temperatur tertentu. Setelah menjadi cair, jika dipanaskan akan menjadi air, zat cair. Bila dipanaskan terus, akhirnya mendidih dan menjadi uap air, zat gas.”
Waktu itu saya bantah: “Telor tidak seperti itu. Telor ayam adalah benda cair, zat cair. Bila dipanaskan menjadi padat, dan kalau dipanaskan terus akan hangus”. Tentu saja bantahan ini membuat ibu kelabakan.
Problem utama dari ibu/bapak guru adalah mereka menelan materi kurikulum dan seperti beo diucapkan kembali ketika mengajar dihadapan muridnya. Asumsinya bahwa muridnya juga akan menelan mentah-mentah tanpa melakukan check realita. Benda di alam ini bukan es-air-uap saja. Masih ada telor (mentah/matang) , kayu, kanji, lem, gula, plastik. Ibu guru terlalu menyederhanakan masalah sehingga nampaknya mudah dicerna. Tetapi dalam realita yang sebenarnya lebih kompleks. Mungkin ibu guru harus membuat mengecualian- pengecualian. Kalau itu yang dia lakukan, maka pengecualian itu lebih banyak dari pada yang bukan pengecualian. Jadi apa itu namanya?
Kali ini kita akan membahas sesuatu yang sudah menjadi opini publik yaitu investasi properti yang katanya tidak pernah rugi. Tentu saja dengan check realitas.
SALAHKAN ROBERT KIYOSAKI
“Properti - investasi tidak pernah rugi” kata teman saya. “Paling tidak properti atau membeli rumah tidak akan pernah rugi”. Ucapan dia mewakili opini masyarakat umum, termasuk istri saya. Opini masyarakat umum ini adalah hasil pembelajaran dari pengalaman beberapa dekade setelah kemerdekaan.
Catatan: Saya tekankan lagi kata setelah kemerdekaan. Karena antara sebelum dan sesudah kemerdekaan, ada perbedaan yang mendasar yang dilatar belakangi oleh sistem keuangan dianut Indonesia . Di jaman penjajahan, Belanda menggunakan sistem pseudo-gold (uang sejati) sedang setelah kemerdekaan, pemerintah republik menggunakan sistem moneter uang fiat (uang yang berharga karena undang-undang) .
Opini tentang investasi properti ini ada benarnya dan ada salahnya. Seorang teman mengeluhkan tentang investasi di sektor properti miliknya yang jebol. Awalnya dia terinspirasi oleh buku-buku serial “Poor Dad, Rich Dad” nya Robert Kiyosaki. Uang/Asset yang bekerja untuk anda, passive income. Dia terjun dan membeli 2 apartemen untuk disewakan. Cicilannya Rp 40 juta per bulan. Dia sewakan dengan harga US$ 2000 per bulan (1 US$ = Rp 9000). Jadi pada dasarnya uang cicilan dapat dibayari oleh uang sewa apartemen (dengan tambahan sedikit). Ini berlangsung beberapa bulan. Entah karena jumlah apartemen yang terus bertambah, dan/atau ekonomi yang melambat, maka apartemennya tidak ada penyewa. Ini berlangsung cukup lama sehingga dia mengalami kesulitan untuk membayar cicilan hutangnya. Mau dijual, tidak mudah. Pasar apartemen atau properti tidak liquid. Pendek kata dia terperangkap. Akhirnya dia terbebani oleh cicilan dan biaya perawatan bulanan apartemennya. Asset yang seharusnya menghasilkan income, sekarang menjadi liability yang lengket dan tidak bisa dilepaskan. Mampuslah kau. Kenapa tidak berpikir ketika menuruti anjuran Robert Kiyosaki.
Dia tidak sendirian. Saya punya banyak teman yang memiliki satu, dua, tiga rumah ekstra yang tidak ditempati bahkan dibiarkan rusak dimakan hujan dan terik matahari karena sudah bosan mengeluarkan biaya perawatan. Kadang-kadang kalau ada uang rumah itu direnovasi yang memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau situasi sudah seperti ini, mungkin kita harus merenungkan apakah ajaran Robert Kiyosaki itu benar. Yang pasti Robert Kiyosaki kaya karena penjualan bukunya dan gamenya.
Banyak teman saya yang sudah terjerumus ke dalam konsep asset yang memberikan income pasif ternyata adalah liability, menentramkan diri dengan mengatakan bahwa harga propertinya terus naik. Jadi dia masih untung. Tentu saja argumennya tidak didukung dengan analisa keekonomian, analisa cash flow.
PENYERDERHANAAN
Bagi seorang yang profesinya bukan di bidang properti atau bagi pemula di bidang properti, secara alamiah sering melakukan penyederhanaan. Asumsi yang dipakai pada saat membeli properti sederhana dan cenderung melihat “upside case” saja – atau dalam bahasa awamnya melihat untungnya saja. Misalnya, properti akan disewakan dan mencari penyewa mudah. Kenyataannya adalah sebaliknya. Demikian juga untuk menjual rumah. Jangan dikira seperti menjual emas. Tinggal pergi ke pasar dan dijual di toko emas.
Menjual/menyewakan rumah bisa mudah dan bisa susah. Saya melihat banyak rumah dengan papan penawaran “Dijual” atau “Disewakan” di depannya sampai bertahun-tahun dan tidak laku. Bahkan pengalaman mertua saya untuk menjual rumahnya di jln. Darmawangsa X, Jakarta, tepat di sebelah Wijaya Grand Center Jakarta, perlu waktu 8 tahun. Lakunya ketika harganya diturunkan hanya 40% dari harga pasar.
Asumsi dan penyederhaan satu lagi ialah masalah depresiasi dan perawatan. Banyak pemula tidak memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan selama rumah itu kosong ketika menunggu penyewa atau pembeli. Rumah/apartemen bukan emas. Properti memerlukan perawatan. Musuh rumah bukan saja alam, cuaca, tetapi juga tangan jahil, pemulung dan penyerobot. Tanah saja perlu pagar dan penjaga supaya tidak bisa diserobot orang atau pagarnya tidak diambili pemulung. Apa lagi rumah. Jangan heran kalau anda melihat rumah kosong yang satu-per-satu bagian-bagiannya (pagar, pintu, jendela, ubin, kayu-kayunya) hilang. Jangan heran juga kalau rumah itu ditempati pemulung, yang kalau diusir akan minta uang pesangon.
Andaikata, perencanaan perawatan dan penjagaan sudah ada, perlu dipikirkan biaya perbaikan besar secara berkala. Rumah adalah asset yang terdepresiasi. Kayu-kayunya, catnya, besi pagarnya bisa menua/rusak dimakan umur. Oleh sebab itu perlu perawatan besar secara berkala (5 tahun sekali misalnya).
Tantangan akan ada sebelum menjual properti milik anda, jika anda mengupah seorang penjaga, harus dipikirkan bagaimana memPHKnya ketika rumah itu terjual. Jadi banyak faktor yang harus diperhitungkan. Oeh sebab itu sebelum anda memutuskan untuk memiliki rumah ke II, III, dst untuk investasi, perlu dipikirkan matang-matang.
Dan yang terakhir ialah masalah pajak, baik itu pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pajak penjualan dan pajak pendapatan. Untuk pajak penjualan, kemungkinan besar di masa datang akan lebih diintensifkan lagi oleh pemerintah, baik besarnya atau caranya (sulit lolos). Ha ini akan mengurangi keekonomian usaha properti. Ingat, pemerintah hanya mau untungnya saja (menarik pajak) tetapi mereka tidak mau ikut menanggung resiko kerugian. Itulah pemerintah.
MITOS KEBUTUHAN RUMAH TERUS MENINGKAT
Setelah kita membahas unsur dalam struktur biaya yang sering dilupakan orang, kita akan melihat bahwa presepsi bahwa kebutuhan rumah selalu meningkat itu tidak selalu benar. Asumsi ini yang mendasari pandangan kenapa harga properti terus naik.
Check realita: sejak diintensifkannya di tahun 1970an program keluarga berencana dengan semboyan “cukup dua anak, laki prempuan sama saja” berjalan sangat sukses. Saat ini kebanyakan keluarga hanya memiliki 1-2 anak saja. Pertumbuhan penduduk hanya 1%-1.3%, itupun karena umur penduduk yang cenderung lebih panjang. Anak-anak di masa depan cukup mewarisi rumah orang tuanya saja. Jadi kebutuhan rumah, tidak memperoleh support dari sektor demografi. Ini berbeda dengan Malaysia, dimana mempunyai anak 4 adalah biasa dan keluarga dengan 12 masih banyak. Konsekwensi logisnya ialah kebutuhan rumah dan bangunan komersial (hotel, pasar, mall dan supermarket) di Malaysia di masa mendatang akan meningkat. Di Malaysia, demografi masih mendukung. Sedang di Indonesia tidak.
Faktor imigrasi juga tidak mendukung. Malaysia dan Thailand adalah surga bagi imigran kaya, expatriat yang ingin pensiun di kedua negri ini. Mereka mempunyai program yang dikenal dengan nama grey citizen, program untuk pensiunan kaya / mampu untuk tinggal di Malaysia dan Thailand. Dan Indonesia tidak punya. Bahkan untuk memiliki properti saja, tidak terlalu mudah bagi orang asing.
Pendorong kebutuhan rumah hanyalah spekulasi, perpindahan penduduk dan naiknya tingkat kemakmuran. Saya meragukan naiknya tingkat kemakmuran. Memang secara nominal, pendapatan per kapita naik, tetapi secara riil tidak. Ini sering saya bahas, misalnya di artikel-artikel berseri “Kemakmuran atau Illusi”
Dalil dasar: “Power tends to corrupt”
Maka: “distribute the power to people”
Di mata orang waras kalau ada dalil: “Power tends to corrupt” maka konsekwensi logisnya: “more people with power, leads to more corruption”. Bukan demokrasi atau rule by mob sebagai jawaban untuk menghindari korupsi.
Cara berpikir yang runut penting sekali dalam memecahkan semua persoal hidup, dari mulai bernegara, beragama sampai ke ekonomi. Disamping runut, kesimpulan juga harus berdasar realita. Saya ingat ketika saya masih duduk di SD (sekolah dasar). Ibu guru mengajarkan ilmu alam menerangkan topik perubahan fase.
Katanya: “Di alam ini ada 3 fase. Fase padat, cair dan gas. Bila zat padat, seperti es dipanaskan, ia akan meleleh pada temperatur tertentu. Setelah menjadi cair, jika dipanaskan akan menjadi air, zat cair. Bila dipanaskan terus, akhirnya mendidih dan menjadi uap air, zat gas.”
Waktu itu saya bantah: “Telor tidak seperti itu. Telor ayam adalah benda cair, zat cair. Bila dipanaskan menjadi padat, dan kalau dipanaskan terus akan hangus”. Tentu saja bantahan ini membuat ibu kelabakan.
Problem utama dari ibu/bapak guru adalah mereka menelan materi kurikulum dan seperti beo diucapkan kembali ketika mengajar dihadapan muridnya. Asumsinya bahwa muridnya juga akan menelan mentah-mentah tanpa melakukan check realita. Benda di alam ini bukan es-air-uap saja. Masih ada telor (mentah/matang) , kayu, kanji, lem, gula, plastik. Ibu guru terlalu menyederhanakan masalah sehingga nampaknya mudah dicerna. Tetapi dalam realita yang sebenarnya lebih kompleks. Mungkin ibu guru harus membuat mengecualian- pengecualian. Kalau itu yang dia lakukan, maka pengecualian itu lebih banyak dari pada yang bukan pengecualian. Jadi apa itu namanya?
Kali ini kita akan membahas sesuatu yang sudah menjadi opini publik yaitu investasi properti yang katanya tidak pernah rugi. Tentu saja dengan check realitas.
SALAHKAN ROBERT KIYOSAKI
“Properti - investasi tidak pernah rugi” kata teman saya. “Paling tidak properti atau membeli rumah tidak akan pernah rugi”. Ucapan dia mewakili opini masyarakat umum, termasuk istri saya. Opini masyarakat umum ini adalah hasil pembelajaran dari pengalaman beberapa dekade setelah kemerdekaan.
Catatan: Saya tekankan lagi kata setelah kemerdekaan. Karena antara sebelum dan sesudah kemerdekaan, ada perbedaan yang mendasar yang dilatar belakangi oleh sistem keuangan dianut Indonesia . Di jaman penjajahan, Belanda menggunakan sistem pseudo-gold (uang sejati) sedang setelah kemerdekaan, pemerintah republik menggunakan sistem moneter uang fiat (uang yang berharga karena undang-undang) .
Opini tentang investasi properti ini ada benarnya dan ada salahnya. Seorang teman mengeluhkan tentang investasi di sektor properti miliknya yang jebol. Awalnya dia terinspirasi oleh buku-buku serial “Poor Dad, Rich Dad” nya Robert Kiyosaki. Uang/Asset yang bekerja untuk anda, passive income. Dia terjun dan membeli 2 apartemen untuk disewakan. Cicilannya Rp 40 juta per bulan. Dia sewakan dengan harga US$ 2000 per bulan (1 US$ = Rp 9000). Jadi pada dasarnya uang cicilan dapat dibayari oleh uang sewa apartemen (dengan tambahan sedikit). Ini berlangsung beberapa bulan. Entah karena jumlah apartemen yang terus bertambah, dan/atau ekonomi yang melambat, maka apartemennya tidak ada penyewa. Ini berlangsung cukup lama sehingga dia mengalami kesulitan untuk membayar cicilan hutangnya. Mau dijual, tidak mudah. Pasar apartemen atau properti tidak liquid. Pendek kata dia terperangkap. Akhirnya dia terbebani oleh cicilan dan biaya perawatan bulanan apartemennya. Asset yang seharusnya menghasilkan income, sekarang menjadi liability yang lengket dan tidak bisa dilepaskan. Mampuslah kau. Kenapa tidak berpikir ketika menuruti anjuran Robert Kiyosaki.
Dia tidak sendirian. Saya punya banyak teman yang memiliki satu, dua, tiga rumah ekstra yang tidak ditempati bahkan dibiarkan rusak dimakan hujan dan terik matahari karena sudah bosan mengeluarkan biaya perawatan. Kadang-kadang kalau ada uang rumah itu direnovasi yang memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau situasi sudah seperti ini, mungkin kita harus merenungkan apakah ajaran Robert Kiyosaki itu benar. Yang pasti Robert Kiyosaki kaya karena penjualan bukunya dan gamenya.
Banyak teman saya yang sudah terjerumus ke dalam konsep asset yang memberikan income pasif ternyata adalah liability, menentramkan diri dengan mengatakan bahwa harga propertinya terus naik. Jadi dia masih untung. Tentu saja argumennya tidak didukung dengan analisa keekonomian, analisa cash flow.
PENYERDERHANAAN
Bagi seorang yang profesinya bukan di bidang properti atau bagi pemula di bidang properti, secara alamiah sering melakukan penyederhanaan. Asumsi yang dipakai pada saat membeli properti sederhana dan cenderung melihat “upside case” saja – atau dalam bahasa awamnya melihat untungnya saja. Misalnya, properti akan disewakan dan mencari penyewa mudah. Kenyataannya adalah sebaliknya. Demikian juga untuk menjual rumah. Jangan dikira seperti menjual emas. Tinggal pergi ke pasar dan dijual di toko emas.
Menjual/menyewakan rumah bisa mudah dan bisa susah. Saya melihat banyak rumah dengan papan penawaran “Dijual” atau “Disewakan” di depannya sampai bertahun-tahun dan tidak laku. Bahkan pengalaman mertua saya untuk menjual rumahnya di jln. Darmawangsa X, Jakarta, tepat di sebelah Wijaya Grand Center Jakarta, perlu waktu 8 tahun. Lakunya ketika harganya diturunkan hanya 40% dari harga pasar.
Asumsi dan penyederhaan satu lagi ialah masalah depresiasi dan perawatan. Banyak pemula tidak memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan selama rumah itu kosong ketika menunggu penyewa atau pembeli. Rumah/apartemen bukan emas. Properti memerlukan perawatan. Musuh rumah bukan saja alam, cuaca, tetapi juga tangan jahil, pemulung dan penyerobot. Tanah saja perlu pagar dan penjaga supaya tidak bisa diserobot orang atau pagarnya tidak diambili pemulung. Apa lagi rumah. Jangan heran kalau anda melihat rumah kosong yang satu-per-satu bagian-bagiannya (pagar, pintu, jendela, ubin, kayu-kayunya) hilang. Jangan heran juga kalau rumah itu ditempati pemulung, yang kalau diusir akan minta uang pesangon.
Andaikata, perencanaan perawatan dan penjagaan sudah ada, perlu dipikirkan biaya perbaikan besar secara berkala. Rumah adalah asset yang terdepresiasi. Kayu-kayunya, catnya, besi pagarnya bisa menua/rusak dimakan umur. Oleh sebab itu perlu perawatan besar secara berkala (5 tahun sekali misalnya).
Tantangan akan ada sebelum menjual properti milik anda, jika anda mengupah seorang penjaga, harus dipikirkan bagaimana memPHKnya ketika rumah itu terjual. Jadi banyak faktor yang harus diperhitungkan. Oeh sebab itu sebelum anda memutuskan untuk memiliki rumah ke II, III, dst untuk investasi, perlu dipikirkan matang-matang.
Dan yang terakhir ialah masalah pajak, baik itu pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pajak penjualan dan pajak pendapatan. Untuk pajak penjualan, kemungkinan besar di masa datang akan lebih diintensifkan lagi oleh pemerintah, baik besarnya atau caranya (sulit lolos). Ha ini akan mengurangi keekonomian usaha properti. Ingat, pemerintah hanya mau untungnya saja (menarik pajak) tetapi mereka tidak mau ikut menanggung resiko kerugian. Itulah pemerintah.
MITOS KEBUTUHAN RUMAH TERUS MENINGKAT
Setelah kita membahas unsur dalam struktur biaya yang sering dilupakan orang, kita akan melihat bahwa presepsi bahwa kebutuhan rumah selalu meningkat itu tidak selalu benar. Asumsi ini yang mendasari pandangan kenapa harga properti terus naik.
Check realita: sejak diintensifkannya di tahun 1970an program keluarga berencana dengan semboyan “cukup dua anak, laki prempuan sama saja” berjalan sangat sukses. Saat ini kebanyakan keluarga hanya memiliki 1-2 anak saja. Pertumbuhan penduduk hanya 1%-1.3%, itupun karena umur penduduk yang cenderung lebih panjang. Anak-anak di masa depan cukup mewarisi rumah orang tuanya saja. Jadi kebutuhan rumah, tidak memperoleh support dari sektor demografi. Ini berbeda dengan Malaysia, dimana mempunyai anak 4 adalah biasa dan keluarga dengan 12 masih banyak. Konsekwensi logisnya ialah kebutuhan rumah dan bangunan komersial (hotel, pasar, mall dan supermarket) di Malaysia di masa mendatang akan meningkat. Di Malaysia, demografi masih mendukung. Sedang di Indonesia tidak.
Faktor imigrasi juga tidak mendukung. Malaysia dan Thailand adalah surga bagi imigran kaya, expatriat yang ingin pensiun di kedua negri ini. Mereka mempunyai program yang dikenal dengan nama grey citizen, program untuk pensiunan kaya / mampu untuk tinggal di Malaysia dan Thailand. Dan Indonesia tidak punya. Bahkan untuk memiliki properti saja, tidak terlalu mudah bagi orang asing.
Pendorong kebutuhan rumah hanyalah spekulasi, perpindahan penduduk dan naiknya tingkat kemakmuran. Saya meragukan naiknya tingkat kemakmuran. Memang secara nominal, pendapatan per kapita naik, tetapi secara riil tidak. Ini sering saya bahas, misalnya di artikel-artikel berseri “Kemakmuran atau Illusi”
Dengan demikian yang tersisa adalah faktor pendorong karena spekulasi dan perpindahan penduduk, baik perpindahan secara ekonomi (dari ekonomi lebih rendah ke yang lebih tinggi) dan juga migrasi/urbanisasi. Faktor spekulasi dan perpindahan level ekonomi, biasanya hanya bermain di sektor kelas atas dan menengah. Sedang faktor urbanisasi adalah sektor terbesar dan mendominasi rumah petak dan rumah kelas bawah. Saya akan berhati-hati di sektor spekulasi. Dan tidak akan menyentuh sektor kelas bawah karena untungnya tidak sepadan dengan resikonya. Alasannya bahwa menarik uang dari orang miskin susah.
KRITERIA UNTUNG RUGI
Ungkapan bahwa investasi di properti adalah tidak pernah rugi bisa salah dan bisa benar. Ada benarnya kalau tolok ukurnya uang rupiah. Dan salah kalau tolok ukurnya emas, uang sejati. Kalau tolok ukurnya uang rupiah, maka uang rupiah itu harus dinormalisasikan, dikoreksi dengan pertambahan uang yang beredar. Perlu diketahui bahwa sejak Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia, pemerintah mencetak uang dengan seenak udelnya saja. Kalau ada pejabat pemerintah menyangkal hal ini, maka tanyakan: “Di awal tahun 70an, uang pecahan terbesar adalah Rp 5000. Kenapa sekarang, tahun 2007, ada pecahan Rp 100,000? Kenapa sebelum krismon 1998 tidak ada pecahan Rp 100,000, dan sekarang ada?”
Oleh sebab itu, kriteria untung – capital gain dan cash flow - harus diukur dengan uang sejati (emas) atau dengan normalisasi. Cara normalisasi mungkin cara yang paling fair, jika data pemerintah benar. Cara ini bisa dilakukan dengan cara membandingkan jumlah uang yang beredar pada saat membeli rumah sebagai basis. Misalnya, rumah dibeli pada bulan Januari 2006 dengan harga Rp 300 juta. Jumlah rupiah M2 yang beredar adalah Rp 1200 triliun. Kalau harga rumah yang sama pada akhir tahun 2007 menjadi Rp 350 juta, maka secara nominal ada gross capital gain sebesar Rp 50 juta. Tetapi harga ini harus dinormalisasikan dengan jumlah uang (M2) yang beredar pada saat itu, yaitu Rp 1420 triliun.
Jadi harga yang telah dinormalisasi adalah : 1420/1200 * 300 juta = Rp 355 juta.
Dengan demikian harga Rp 350 juta secara nominal memberikan gross capital gain sebesar Rp 50 juta, ternyata secara riil, malah rugi Rp 5 juta (uang 2006), karena nilai rupiah telah merosot. Ini tidak termasuk kerugian akibat pajak penjualan dan ongkos perawatan selama 2 tahun.
Catatan: Data tentang uang yang beredar bisa dilihat di situs Bank Indonesia (http://www.bi. go.id/web/).
PERENCANAAN
Pertama yang harus dilakukan untuk memulai masuk di investasi properti adalah membuat cash flownya. Banyak orang lupa memperhitungkan unsur biaya. Di bawah ini adalah beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan untuk memulai properti sebagai wahana investasi.
A. Faktor pada saat memulai
1. Harga rumah
2. Pajak penjualan/pembelian
3. Biaya agen
4. Perbaikan “face-lift” untuk rumah supaya menarik
B. Faktor pada saat berjalan
5. Biaya perawatan/operasi bulanan (termasuk penjaga kalau diperlukan)
6. Depresiasi – biaya renovasi berkala
7. Harga Sewa Rumah
8. Pajak PBB
C. Faktor ketika Exit
9. Kerugian maksimum yang bisa diterima ketika mau “jual cepat” – cut loss
10. Biaya agen
11. Biaya lain (PHK penjaga)
12. Pajak penjualan
Dalam kaitannya dengan exit, harus dipertimbangkan kriteria apa saja yang bisa memicu exit, seperti cut-loss, profit taking atau kondisi ekonomi.
D. Parameter ekonomi lainnya
13. Tingkat suku bunga pinjaman
14. Laju inflasi riil (laju pertambahan uang yang beredar)
Usaha tidak selalu mengikuti skenario yang diinginkan. Kita menginginkan adanya penyewa, ternyata sampai berbulan-bulan rumah tetap kosong. Mau dijual, sudah ditawarkan bertahun-tahun ternyata belum ada penawar. Dan sampai batas tertentu akan memicu kriteria cut-loss dan terpaksa harus keluar dari bisnis. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan beberapa kasus. Misalnya:
a. Kasus terburuk, tidak ada penyewa. Kasus ini digunakan untuk menilai seberapa jauh kemampuan kita memikul kerugian. Harus dipertimbangkan bahwa anda harus memikul beban ini paling tidak 3-5 tahun sejak anda memutuskan keluar dari bisnis properti. Artinya, walaupun rumah yang anda miliki sudah dipasarkan untuk dijual, jangan harap bisa terjual dengan cepat. Belum tentu dalam waktu 3-5 tahun bisa terjual dengan “harga pasar”, kecuali anda mau menjualnya 50% di bawah “harga pasar”.
b. Kasus sukses, yaitu jika anda bisa menyewakan rumah itu. Kalau nantinya skenario ini bisa terwujudkan maka anda bisa memperoleh tambahan keuntungan dari uang sewa.
Kalau sebagai pemula yang belum pernah berkecimpung di bisnis properti, ada baiknya kasus terburuk diambil sebagai kasus dasar. Karena banyak liku-liku bisnis ini yang perlu dipelajari dan biasanya hanya lewat pengalaman. Kesalahan utama bagi pemula ialah hanya melihat kasus sukses dan kasus sukses ini dijadikan acuan untuk masuk ke bisnis. Akibatnya mereka tidak siap menghadapi kegagalan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan skenario awal. Kemudian keputusan yang diambil salah. Inilah pentingnya exit strategy, baik itu sebagai cut-loss atau profit taking atau menghindari resiko yang lebih besar.
Jika untuk kasus terburuk ini sudah menjanjikan keuntungan, artinya projek anda termasuk yang mantab dan tahan banting.
KAPAN MEMBELI DAN KAPAN MENJUAL
Saya berpikiran sederhana dan secara pribadi adalah seorang swing trader. Maksudnya membeli pada saat ekonomi sedang di bawah dan menjelang kebangkitan, akhir resesi, akhir krisis dimana pada masa ini harga sedang jatuh. Tentu saja membelinya dari pasar sekunder karena developer mungkin belum banyak yang aktif. Dan saat menjual properti adalah ketika ekonomi sedang booming, dimana harga sedang baik. Saya tidak akan menunggu sampai akhir dari boom, karena pada saat itu akan banyak developer mempunyai stok yang berlebih. Bersaing dengan developer bukan hal yang mudah. Karena volume developer besar, mereka sanggup mengiklankan secara besar-besaran dan juga mempunyai kerja sama dengan bank untuk mengambil kredit.
Pada saat resesi, krisis, harga rumah riil biasanya turun, baik krisisnya itu jenis deflasi dan inflasi. Dalam kasus krisis jenis inflasi, harga nominal properti bisa tidak turun, tetapi harga riilnya turun. Tetapi untuk kasus krisis jenis deflasi seperti yang dialami Jepang, harga nominal rumah turun sampai 80% selama 16 tahun. Sedangkan pada masa krisis moneter Asia tahun 1998 – 2000, rupiah terdepresiasi sebesar 80%, inflasi bulanan Indonesia bisa mencapai 80%, sedangkan harga rumah tidak bisa mengimbangi inflasi dan turunnya nilai rupiah, karena masa itu adalah masa krisis. Orang hanya memikirkan kebutuhan primer saja. Harga rumah hanya naik 100%-200%, tidak seperti emas yang naik 500% dari Rp 20,000 menjadi Rp 100,000 per gram. Oleh sebab itu, memulai bisnis properti pada awal krisis atau di tengah-tengah krisis adalah merugikan. Sebaiknya memulai di akhir krisis. (Catatan: krisis bisa berlangsung lama, belasan tahun seperti kasusnya Jepang yang sejak tahun 1990 mengalami deflasi selama 17 tahun. Dan selama itu juga harga rumah turun).
Investasi di sektor properti bisa menguntungkan di lingkungan ekonomi dengan tingkat inflasi tinggi, asalkan jangan krisis. Apakah itu stagflasi ataupun crack up boom, pada periode ekonomi semacam ini memiliki properti sangat menguntungkan, lebih-lebih kalau bisa memperoleh kredit dengan bunga tetap. (crack up boom ialah periode dimana kepercayaan terhadap uang fiat turun di akhir fase inflationary dan orang mencari tangible asset untuk mempertahankan nilai assetnya). Perlu ditekankan bahwa kunci yang membuat investasi ini menguntungkan adalah kredit dengan bunga tetap. Pada saat inflasi (pertumbuhan uang yang beredar) meningkat, kalau bunga kredit bisa dikunci di level tertentu sehingga tingkat inflasi lebih tinggi dari bunga cicilan itu sendiri, maka skenario ini bisa sangat menguntungkan. Artinya anda bisa meminjam untuk membeli rumah dan mengembalikan hutang itu pada saat nilai riilnya jatuh. (Catatan: Saya tidak tahu, apakah saat ini masih bisa memperoleh kredit dengan bunga tetap. Bank sekarang lebih pandai dan berhati-hati dalam soal bunga.)
Dengan banyaknya advertensi di koran, tv, spanduk-spanduk serta pameran-pameran, menunjukkan bahwa pasar properti sudah pada fase bubble. Sejak tahun 2003, kenaikan harga rumah sudah membumbung 2-4 kali lipat. Entah kapan bubble ini akan meletus. Saya akan menunggu. Catatan: Saya yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan secara nominal dan harga di atas kertas dari harga rumah tidak akan turun, tetapi harga riil – terhadap emas – akan turun.
CATATAN AKHIR
Saya bukan seorang yang berpengalaman dalam bidang investasi properti. Tulisan di atas hanyalah pemikiran saya semata seandainya saya mau masuk di investasi properti. Dasarnya pemikiran itu tentu saja pengalaman. Bukan pengalaman saya sendiri tetapi pengalaman teman-teman dan kenalan saya. Selama konsep itu disusun berdasarkan pemikiran yang runut dan dengan check realita, hasilnya akan lebih baik dari pada sekedar percaya saja, terutama percaya kepada sales person dari developer atau agen. Mereka akan mengatakan apa yang enak didengar oleh anda. Iming-imingan keuntungan dan optimisme, demi memperoleh komisi dari sales kepada anda. Sedangkan di situs Ekonomi Orang Waras dan Investasi ini setiap optimisme akan selalu dipertanyakan. Saya tidak dibayar anda. Ini berbeda dengan agen real-estate yang punya vested interest agar jualannya laku dan dia memperoleh komisi. Kalau mereka mengatakan bahwa mencari penyewa adalah mudah, apa lagi untuk apartemen. Mungkin anda perlu jalan-jalan pada sore hari di jalan Antasari Jakarta dan melihat berapa banyak gedung apartemen yang kosong. Atau anda tanya kenapa gedung Nestle di jalan T.B Simatupang, Jakarta sudah berubah fungsi, dari apartemen hunian ke perkantoran? Apa karena tidak ada penyewa sebagai apartemen?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar