Di suatu desa yang sepi di Brasil, pada suatu malam yang sedang dilanda
hujan lebat, ada seorang ibu yang akan melahirkan. Tapi di sampingnya
hanya ada seorang bocah berumur 5 tahun mendampinginya.
Dalam keadaan darurat, nyonya ini menelepon ke kantor polisi. Tapi oleh
karena badai hujan itu telah mengakibatkan banjir dan longsor, mobil
ambulance dan regu penolong sudah berangkat semuanya, hanya tinggal
seorang polisi penjaga pos saja yang tersisa. Polisi itu pun terpaksa
menelepon ke rumah ketua organisasi massa lokal, dan memohon bantuannya.
Ketua organisasi itu segera menyanggupi, dan mengantarkan sendiri ibu
itu ke rumah sakit. Persalinan si ibu berjalan dengan lancar, ibu dan
anak selamat. Saat itu baru terpikir oleh sang ketua bahwa di rumah si
ibu yang bersalin itu masih ada seorang bocah kecil, yang harus segera
dijemput.
Dia lalu memakai HP nya menelepon ke salah seorang anggotanya yang
paling tidak punya kepedulian dan juga merupakan orang terakhir yang
masih belum ada tugas keluar, mengharapkan bantuannya untuk menolong
bocah yang masih terperangkap.
“Orang terakhir ini” keluar dari dalam selimut hangatnya, dengan
bermalas-malasan ia mengemudikan mobil menuju ke rumah bocah itu, di
sepanjang perjalanan sambil bersiul ia juga mengutuk cuaca yang buruk
itu.
Setelah mengalami berbagai macam rintangan, akhirnya ia dapat menemukan
rumah bocah itu, dia menggendong bocah itu masuk ke dalam mobil.
Setelah masuk ke dalam mobil, bocah itu terus memandangi ‘orang
terakhir’ ini, mendadak si bocah membuka mulut, “Tuan, apakah kamu
Tuhan?”
‘Orang terakhir’ ini kebingungan, ibarat seorang yang kehilangan
kepalanya sendiri, sambil berpikir mungkin bocah ini mendapat gangguan
syaraf setelah mengalami ketakutan tadi. Setelah memuntahkan permen
karet dari mulutnya dia kemudian bertanya kembali dengan agak tergagap,
“Adik kecil, mengapa kamu katakan saya adalah Tuhan?”
Bocah lelaki itu berkata, “Ketika ibu saya baru akan keluar rumah, dia
berpesan agar saya berani tinggal di rumah sendirian. Dia juga bilang
bahwa saat ini hanyalah Tuhan yang bisa menolong kita.” Mendengar
perkataan ini, muka orang ini segera memerah dari wajah hingga ke ujung
kakinya. Dia merasa malu sekali, dengan sebelah tangannya ia meraba-raba
kepala anak ini, dengan nada penuh kasih dia berkata pada si bocah,
“Saya bukan Tuhan, saya adalah temanmu!”
Sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa suatu hari kelak dia akan
menjadi Tuhan di mata orang lain. Dia mendadak merasakan bahwa ekspresi
polos dari wajah bocah itu telah menyulut lampu hati yang ada di dalam
dirinya --- yaitu lampu menuju kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar